Terik siang itu ditambah beberapa masalah yang hadir tanpa diundang, baik urusan kantor maupun pribadi membuatku tidak semangat, termasuk pekerjaan yang biasanya kusuka, mengitari jalan-jalan kota. Aku bagian dari sebuah keluarga, mengantarkan anak-anak ke sekolah atau sekedar main termasuk tugasku. Walau diawali dengan bismillah, hati ini belum bisa tenang.

Aku berangkat dengan setengah hati. Tak boleh memang, merenung sambil nyetir, tapi itulah yang sedang kulakukan. Tiba-tiba lamunanku dipaksa berhenti, lampu merah itu telah mengundang seorang waria mendekati mobil yang kukendarai. Setengah dongkol ku kibaskan tangan dan tampangku mungkin kusut sekali. Waria itu pergi bersungut-sungut, mungkin sambil memaki karena kulihat bibirnya bergerak tak bersahabat. Begitu juga aku “Uh, pemalas banget sih.. ga punya rasa syukur sama sekali, ngemis pula lagi!” Kata-kata itu mengalir dalam hati tanpa bisa ku rem sama sekali.

Di persimpangan berikutnya, kembali aku terhalang oleh lampu merah. Hatiku masih belum bisa kompromi walau telah banyak doa yang kulantunkan. Hingga akhirnya, ada seorang yang membawa kemoceng menyapukan kemocengnya ke kaca depan mobil. Kembali aku gerah.

Dengan gerakan yang sama seperti kepada waria tadi, kuisyaratkan untuk tidak meneruskan, tapi dia tak peduli. “Ah, biar saja… toh aku ga nyuruh kok!” Hatiku membatin. Ketika dia minta aku untuk membayar atas jasanya, aku pura-pura tidak mendengar. “Toh, aku ga minta kok”. Dia pergi tanpa ekpresi.

Lagi, di persimpangan berikutnya .. lampu merah lagi ! Kali ini, dari kejauhan aku melihat dua anak berusia sekitar dua belas tahun menggendong seorang bayi sedang mengemis.

Entah kenapa, hatiku sangat yakin anak dalam gendongan itu bukan bayi mereka atau adik-adik mereka. Betapa teganya orang memperdagangkan anak di bawah umur. Kaca mobil ku turunkan perlahan, ingin mengamati dengan seksama kedua anak tadi. Ada rasa kesian bercampur kesal. Ah, apakah memang sulit sekali untuk hidup? Tiba-tiba sebuah alunan harmonika membuatku tersentak dari lamunan, renungan .. dan semua bisikan hati.

Seorang laik-laki kurus, berbaju kumal sedang melantunkan suara harmonikanya. Tak sadar aku terhanyut.. masalahku seakan melayang bersama alunan harmonikanya. Walaupun gitu, sepeser uang yang diharapkannya tak kunjung ku beri .. karena dari tadi, aku masih mempersoalkan cara mereka mencari nafkah.

Penolakanku dijawabnya dengan senyum sembari berkata “Semoga Allah memudahkan semua urusan Ibu”. Suara itu terdengar begitu tulus.. Ketika tanganku berusaha merogoh uang di kantong dia telah berlalu seiring lampu hijau yang menyala. Tetes air mata tiba-tiba meleleh .. Aku menyesal. “Haruskah keikhlasan dibatasi oleh banyak alasan ?” Uang itu masih ku genggam di tangan.

Andai aku bisa kembali dan memberikannya, tapi saat itu tidak mungkin karena jalan yang kulalui satu jalur. Senyum dan doa itu begitu tulus.. Hatiku perih, betapa egoisnya aku, hanya memikirkan masalah yang kuhadadapi. Bagaimana dia ? Mungkin bibirnya sudah penat dari tadi meniup harmonika ditambah rasa haus di terik siang, tapi bibir itu masih lentur digerakkan untuk tersenyum.

Mungkin putera-puterinya sedang menunggu uang yang dikumpulkannya untuk membayar SPP atau mungkin bayinya sedang haus kehabisan susu. Ah….. Sementara aku, masih bisa berleha-leha di sebuah mobil ber-ac. Betapa tidak bersyukurnya aku.

Doanya mungkin diijabah, masalahku seakan terselesaikan begitu saja. “Ya Rabb, ampuni hamba-Mu. Beri aku kesempatan untuk jadi seorang pecinta, seperti cinta yang Kau tebarkan pada seluruh makhluk-Mu.”

“Ikhlas itu mencakup dua hal, yaitu menyertakan niat dan membebaskannya dari berbagai noda” (Dr. Yusuf Qhardawy)’ ..Demi keuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (Q.S Shad [38] : 82-83). Ikhlas tidak dibatasi oleh alasan, karena ikhlas hanya bertujuan untuk mencari keridhaan Allah semata. Semoga aku bisa….(Farah Adibah)

sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *