setiap ibadah dalam agama kita mempunyai tekanan yang berbeda, stretching yang tidak sama. Ada ibadah itu disebut ibadah qalbiyah atau ibadah hati. Badan boleh saja sedang berada di kantor menghadapi tamu, tapi di hatinya, “Allah, Allah, Allah.” Itu ibadah hati, namanya. Dia bisa berdiri di tepi pantai, melihat lautan luas terhampar membiru. Bukan main, lautan ini. Kalau Laut saja begini hebat, apalagi yang bikin laut. Karena dia tidak mengagumi laut, dia kagumi yang bikin itu laut. Dia melihat gunung tinggi menjulang ke angkasa. Bukan main, gunung. Kalau gunung saja begini hebat, apalagi yang bikin itu gunung. Dia tidak memuja dan memuji gunung. Dia puja, dia puji yang bikin itu gunung. Inilah wisata rohani, namanya, Berpahala. ini ibadah qolbiyah, ibadah hati, zikir khofiy. Dzikir yang tersembunyi, tangannya menulis, menghadapi tamu, tapi hatinya, “Subhanallah, Alhamdulillah, wala ilaha illallahu, Akbar.” Dzikir yang tersembunyi, ibadah hati.
Ada pula ibadah qolbiyah badaniyah, selain hati, anggota badan, harta tidak terlalu berperan. Misalnya, puasa yang sedang kita kerjakan. Ini asal hati, berniat, badan mampu mengerjakan, ibadah itu sudah bisa terlaksana. Sholat, walaupun pakai ada unsur harta, tapi kan tidak seberapa. penekanannya tetap hati dan badan.
Ada pula ibadah itu disebut qolbiyah badaniyah Maaliyah. Hati, badan, harta. Semua komponen ini seperti ibadah haji. Misalnya, hati berniat, badan melaksanakan, harta dikeluarkan, baru bisa terlaksana Ibadah itu. kurang salah satunya sulit terlaksana. Hati kepengen betul pergi haji, badan sehat, uang tidak punya. Selamat ngelamun. Uang banyak, badan sehat, hati tidak kepingin. “Oh, liburan akhir tahunnya sih, New York, London, Paris, Rome tapi ke mekkah tak pernah sampai.”
Nah, yang mau kita bicarakan sore ini, ibadah yang justru tekanannya kepada harta, disebut ibadah maaliyah, ibadah harta. Memang, harta yang diminta untuk dikeluarkan dalam melaksanakan ibadah itu, yaitu zakat, infaq, dan shodaqoh.
Kesenjangan yang alami adalah sunnatullah. Quran menjelaskan Itu, “kami lebihkan rezeki sebagian kamu dari yang lain.” Ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang alim, ada pula yang awam. Itu sunnatullah. Itu natural of law (hukum alam).
baca juga : Sekilas Tentang Qiyaamur Ramadhan
Kenapa kesenjangan kita permasalahkan? Karena kesenjangan yang terjadi, kesenjangan struktural. Kita juga menyadari bahwa pemerataan bukan menciptakan manusia Indonesia dengan standar ekonomi yang sama, ala komunisme. Rumahnya sama semua, semua punya mobil, semua gajinya sekian. Tidak. Allah melebihkan rezeki sebagian kamu dari yang lain. Bukan persamaan model komunisme.
Kesenjangan adalah sunnatullah. Allah lebihkan rezeki sebagian kamu dari yang lain. Pemerataan yang kita harapkan adalah terciptanya peluang dan kesempatan. Artinya, kalau yang kaya bisa semakin kaya, kenapa yang miskin tidak bisa ikut naik? Jadi, sedikit lebih maju, yang sudah maju lebih maju lagi. Terbuka peluang untuk kesempatan adanya. Untuk itu, Islam memberikan tuntunan di dalam harta itu. Walaupun dia hasil keringatmu, pergi pagi pulang sore, peras keringat, banting tulang bekerja, dengan segala kemampuan yang ada. di dalam harta itu, di sana ada hak bagi orang lain.
Dan hak itu harus dikeluarkan dalam bentuk apa? Dalam bentuk zakat, dengan hitungan yang tertentu, untuk kelompok orang yang tertentu juga. Apa manfaatnya? Nabi bersabda, “zakku amwaalakum bi zakaatin” Bersihkan hartamu dengan zakat. “zakku amwaalakum bi zakaatin”. Bersihkan hartamu dengan zakat.
Yang dimaksud disini, tentu kalau dalam harta yang kita cari itu bercampur dengan yang haram sedikit, ada yang tidak jelas sedikit, ada yang terkena ragu-ragu sedikit, itu yang dibersihkan dengan zakat. Ada yang menggunakan dalil tadi secara salah. Kita korupsi saja, nanti kita zakatkan. Kan katanya nabi, bersihkan hartamu dengan zakat. Jadi, kalau sudah kita zakatkan, dan bersih sudah itu kan politik money laundry. Nah, itu tidak dikenal. Baju yang kita bersihkan, itu baju yang kena kotoran. Tapi kalau kotorannya sendiri, kan tidak bisa dibersihkan. Bagaimana mau mencuci lagi yang dicuci baju yang terkena najis? Najisnya sendiri dicuci, secara apapun, ya tetap najis, namanya.
baca juga : Maha Suci Allah SWT yang Telah Menjatuhkan Makananku
Jadi, tidak bisa lah kita mengambil sesuatu dari yang haram, lalu kita zakatkan, lalu berdalih ini sudah bersih, karena sudah dizakatkan. Bukan. Zakat Fungsinya adalah membersihkan harta, ibarat bangunan rumah. Zakat itu semacam pintu, jendela, lubang angin, AC, yang fungsinya mensirkulasi udara supaya tetap segar. Begitupun zakat, dia akan membersihkan dan mensirkulasikan harta, kalau dia zakat mal. membersihkan jiwa kita, Kalau dia zakat fitrah. Membersihkan tanam-tanaman kita, Kalau dia zakaatuz zuruu’. Membersihkan barang tambang kita, kalau dia zakatul ma’aadin. dan seterusnya, dan seterusnya. Jikalau kita tidak laksanakan, tidak kita tunaikan, maka Allah akan mencabut keberkahan dari harta yang kita miliki.
Itu untuk zakat, memang ada haul, ukuran waktunya, dan nisab, ukuran dari jumlah yang harus dikeluarkannya. Terikat dia oleh haul dan nisab. Sedangkan infaq, tidak ada nisabnya, tidak ada ukuran berapa harus dikeluarkan. Tapi dia terikat oleh sebuah kondisi. objek sedang berhasil rezeki sedang lancar, atau mendapat sesuatu yang rezeki yang tidak disangka-sangka maka itulah Infaq. shodaqoh, tidak terikat apapun bahkan tidak hanya harta, karena segala kebaikan adalah sedekah sebagai mana ucapan nabi :
كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
Artinya: “Setiap kebaikan adalah sedekah,”(HR Al Bukhari dan Muslim).
Ketiganya, baik zakat, infaq, shodaqoh, disebut ibadah maliyah, ibadah harta. Ibadah yang memang tekanannya kepada harta.
Sahabat dakwah sekalian, keberkahan terletak pada bagaimana kita mencari harta, dan membelanjakannya dengan benar. Keberkahan terletak pada mereka yang menerima, mendoakan kita. Bersyukurlah manusia. Kalau dia oleh Allah dijadikan berfungsi sebagai keran air yang menyimpan, tapi tidak untuk dirinya, menyimpan, tapi disalurkan kepada mereka yang memang memerlukannya.
Bagian dari pendidikan puasa adalah tumbuhnya kepekaan sosial. Kepekaan melahirkan kepedulian, dan kepedulian dibuktikan di minggu-minggu akhir ramadhan ini dengan kewajiban membayar zakat infaq setidaknya shodaqoh. Pada sisi lain, ketika ada ajaran untuk mengeluarkan zakat ini, kan sebenarnya sudah anjuran juga dari Islam. “Eh, kau harus punya ekonomi yang kuat supaya kau bisa bayar zakat. Kau harus jadi berhasil, kau harus jadi orang mampu, kau harus mapan, supaya kau bisa bayar itu zakat.” “Tangan di atas lebih lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi lebih baik daripada meminta.” Walaupun keduanya tentu, kalau sama-sama ikhlasnya, pun bukan hal yang hina.
Ada kaidah, “lil wasaail hukmul maqoosid”, alat dan tujuan menduduki hukum yang sama. Kalau kita diperintahkan salat, dan menutup aurat lebih dahulu sebagai syarat sahnya salat, kan kita disuruh sama dengan tidak langsung. Baik, kau harus punya industri tekstil supaya haji, kalau bisa ihram supaya salat, kau bisa pakai sarung, atau harus punya industri tekstil, kau pergi haji kemana, teknologi canggih, bikin pesawat. Karena kau nggak mungkin berenang dari Indonesia ke Jeddah. Itu harus bayar zakat.
Artinya, apa? Kau harus punya ekonomi yang mapan, kau harus berhasil, supaya perlu jadi pelaksana zakat, bukan penerima zakat. Kalau pun hari ini, tahun ini, berdiri pada barisan yang menerima zakat, tanamkan di hati, “Sekarang saya pada barisan yang menerima zakat. Saya akan berjuang sepenuhnya, agar tahun depan, saya pindah menjadi orang yang membayar, dan mengeluarkan zakat.”
Semoga di akhir Ramadhan, minggu-minggu ini, kita dapat melaksanakan ibadah harta, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.
Ringkasan
1. Pengenalan variasi ibadah dalam agama Islam: Ibadah memiliki tekanan berbeda pada hati, badan, dan harta.
2. Ibadah qalbiyah: Fokus pada hati, seperti dzikir khofiy. Contoh: Menghadapi tamu dengan hati yang penuh dzikir.
3. Ibadah qolbiyah badaniyah: Melibatkan badan selain hati, seperti puasa dan sholat.
4. Ibadah qolbiyah badaniyah maaliyah: Melibatkan seluruh komponen (hati, badan, harta), misalnya ibadah haji.
5. Pemahaman tentang kesenjangan ekonomi sebagai sunnatullah, dimana Allah memberikan rezeki berbeda kepada manusia.
6. Kesenjangan struktural ekonomi: Pemerataan tidak menghasilkan standar ekonomi yang sama, bukan model komunisme.
7. Islam dan keberkahan harta: Rezeki harus dibagikan melalui zakat, infaq, dan shodaqoh.
8. Pentingnya zakat dalam membersihkan harta dari yang haram dan menjaga keberkahan.
9. Pembayaran zakat, infaq, dan shodaqoh sebagai ibadah maliyah, ibadah harta.
10. Keberkahan terletak pada cara mendapatkan dan menggunakan harta serta memberikan kepada yang membutuhkan.
11. Kepekaan sosial dari puasa dan pentingnya memiliki ekonomi yang mapan untuk memenuhi kewajiban zakat.
12. Harapan untuk melaksanakan ibadah harta dengan baik sesuai kemampuan di akhir Ramadhan.
Sumber
Diringkas dan disadur dari kultum Alm. KH. Zainuddin MZ dengan judul zakat dengan pengubahan dan penambahan seperlunya oleh Muhammad Taufiqur Rosyid