Dinukil dari hadits dalam kitab Bulughul Maram:
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اِحْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ, وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas RA: Bahwasanya Nabi SAW berbekam saat beliau sdang melakukan ihram dan berbekam saat beliau dalam keadaan berpuasa. (HR. Bukhari) | Bukhari (1938)
وَعَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَتَى عَلَى رَجُلٍ بِالْبَقِيعِ وَهُوَ يَحْتَجِمُ فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: أَفْطَرَ اَلْحَاجِمُ ]وَالْمَحْجُومُ [ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ, وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Syaddad bin Aus RA: Bahwasanya Nabi SAW mendatangi seorang lelaki di Baqi’, lelaki itu sedang berbekam di bulan Ramadhan lalu Nabi bersaMa,” Omngyang membekam dan yang dibekatni batal puasanya.” (HR. Uma Imam hadits) kecuali At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh lbnu Khuzaimah dan lbnu Hibban | Ahmad (16489), Abu Daud (2369), An-Nasa’i dalam Al-Kubra (3144),lbnu Majah (1681),Ibnu Majah (1964), dan Ibnu Hibban (3533)
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( أَوَّلُ مَا كُرِهَتِ اَلْحِجَامَةُ لِلصَّائِمِ; أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ اِحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَمَرَّ بِهِ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ” أَفْطَرَ هَذَانِ “, ثُمَّ رَخَّصَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بَعْدُ فِي اَلْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ, وَكَانَ أَنَسٌ يَحْتَجِمُ وَهُوَ صَائِمٌ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَقَوَّاهُ
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata: Pertama kali berbekam dimakruhkan bagi orang yang berpuasa; Ja’far bin Abu Thalib berbekam dan ia sedang berpuasa lalu Nabi SAW melewati Abu Ja’far kemudian beliau bersabda, “Dua orang ini batal puasa,” Nabi SAW kemudian memberikan dispensasi berbekam bagi orang yang sedang berpuasa setelah kejadian itu. Anas berbekam saat dalam keadaan berpuasa. (HR. Ad-Daruquthni) dan ia menguatkannya. | Ad-Daruquthni (2/182)
Dikatakan dalam Al Mughni, “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” diriwayatkan dari Nabi SAW oleh sebelas orang.
Adapun Hadits Syaddad bin Aus dinilai shahih oleh selain imam yang telah disebutkan seperti Ibnu Al Madini, Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Utsman Ad- Darami. Az-Zailai’ mengatakan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh delapan belas sahabat. Di antara yang menilainya shahih adalah Ibnu Abdil Barr dan Ibnu Hazm.
Adz-Dzahabi berkata, “Perkataan ‘di Baqi’ merupakan suatu kesalahan yang menyolok, karena Nabi SAW pada hari di tahun itu berada di Makkah, kecuali jika yang dimaksud adalah pasar.”
Adapun hadits Anas RA; Ad-Daruquthni berkata, “Para periwayat hadits semuanya dapat dipercaya, aku tidak mengetahui adanya cacat.” Al Hafizh berkata, “Para periwayatnya semua adalah para periwayat Bukhari.”
Adapun yang menolak hadits itu diantaranya Pemilik kitab At-Tanqih berkata, “Hadits ini munkar tidak bisa dijadikan argumen, karena hadits itu syadz matan dan sanadnya, Ibnul Qayyim menilai dha’if hadits tersebut di dalamnya ada kerancuan; di mana dalam hadits disebutkan bahwa Nabi SAW melewati Ja’far pada hari penaklukan Makkah dan ia sedang berbekam padahal Ja’far telah mati syahid sebelum penaklukan Makkah yaitu pada perang Mu’tah.”
Kosakata Hadits
Al Hijaamah: Al Hijaamah dengan dikasrahkan huruf ha, adalah nama perbuatan.
Dikatakan dalam Al Muhith, “Al Hijaamah adalah menyayat kulit dengan pisau bedah kemudian pada tempat yang akan dibekam ditempelkan kertas yang menyala, kapas, atau yang lainnya, lalu disayat dan darahpun keluar dengan deras. Manfaatnya untuk mengembalikan vitalitas tubuh dengan menghilangkan darah kotor tersebut.
Hal-Hal Penting dari Hadits
- Hadits no. 553 secara jelas membolehkan berbekam bagi orang yang sedang ihram haji ataupun umrah, dan boleh berbekam bagi orang yang sedang berpuasa wajib atau sunnah.
- Imam Ahmad dan yang lainnya yaitu para ahli fikih dan hadits mencela tambahan Kata, “Wa huwa shaa imun (dan beliau sedang dalam keadaan berpuasa),” mereka mengatakan yang pasti adalah “Ihtajama wa huwa muhrimun (beliau berbekam saat beliau sedang ihram)”
Ibnul Qayyim berkata dalam Syarh Sunan, bahwa yang pasti adalah “Beliau berbekam saat beliau sedang ihram)”, Adapun lafazh “Wa huwa shaa ‘imun (dan beliau sedang dalam keadaan berpuasa)” menurut Imam Ahmad lafazh dan disetujui oleh yang lainnya merupakan lafazh yang tidak shahih dan yang pasti dalam Ash-Shahihain adalah “Wa huwa shaa `imun (dan beliau sedang dalam keadaan berpuasa).”
- Adapun hadits no 554 itu jelas menyatakan bahwa berbekam itu membatalkan puasa orang yang membekam dan yang dibekam.
- Adapun hadits no 555 menunjukkan kemakruhan berbekam bagi orang yang sedang berpuasa dan menunjukkan bahwa pada awalnya orang yang membekam dan yang dibekam itu batal puasanya tetapi kemudian pada akhirnya mendapat dispensasi dari Nabi SAW.
- Kemakruhan menurut ulama salaf yang dimaksud adalah makruh tahrim (mendekati pada haram).
- Hikmah batalnya puasa orang yang dibekam adalah bahwa berbekam itu menyedot darah yang ada pada tubuh orang berpuasa, yang menyebabkan kelelahan dan kelemahan menyertai kelemahan berpuasa. Maka merupakan rahmat Allah kepada hamba-Nya menjadikan bekam itu membatalkan puasa, agar tidak terhimpun kelemahan pada seorang muslim yang sedang berpuasa dalam waktu yang bersamaan.
- Seperti juga bekam yang membatalkan puasa adalah pendarahan, dan mengambil darah yang banyak melalui jarum yang digunakan di rumah sakit. Secara umum bahwa setiap mengeluarkan darah dari tubuh dan mengeluarkannya itu menyebabkan kelelahan dan kelemahan bagi orang yang sedang berpuasa merupakan di antara yang menyebabkan membatalkan puasa. Batalnya puasa karena pendarahan dan pengambilan darah menurut pendapat yang unggul yang dipilih oleh Syaikhul Islam berdasarkan hukum qiyas (analogi).
- Keluarnya darah yang sedikit karena tanggalnya gigi geraham atau mengambil darah sendiri untuk penguraian, atau karena luka dan lain- lain itu tidak membatalkan puasa.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah bekam, apakah membatalkan puasa atau tidak?
Imam Madzhab yang tiga berpendapat bahwa bekam itu tidak membatalkan puasa berdasarkan hadits riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi SAW berbekam sedang beliau dalam keadaan berpuasa dan berihram.”
Abu Sa’id, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Husain bin Ali, Urwah bin Az- Zubair dan Sa’id bin Jabir memberikan keringanan dalam masalah berbekam.
Imam Ahmad berpendapat, “Berbekam itu membatalkan puasa berdasarkan hadits Rafi’ bin Khadij yang terdapat dalam musnad dan At-Tirmidzi, bahwa Nabi SAW bersabda,
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ.
“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.”
Ahmad dan Bukhari mengatakan bahwa itu adalah hadits yang paling shahih dalam masalah ini.
Riwayat Abu Daud dari Tsauban dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.”
Imam Ahmad berkata: Hadits-hadits “Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” itu saling menguatkan satu sama lain dan aku berpendapat dengan hadits-hadits itu.
Ath-Thahawi dan lain-lain berkata, “Hadits-hadits itu mutawatirdiriwayatkan oleh banyak sahabat.”
Syaikhul Islam berkata, “Hadits-hadits yang ada itu banyak yang telah dijelaskan oleh para imam yang hafizh. Pendapat yang mengatakan batalnya puasa merupakan madzhab mayoritas para ulama fikih, ahli hadits seperti Ahmad, Ishak, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Al Mundzir. Pendapat itu sesuai dengan qiyas. Mereka yang tidak menganggap batalnya puasa orang yang dibekam berargumen
dengan hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari Bahwa Nabi SAW berbekam sementara beliau dalam keadaan berpuasa dan berihram.”
Akan tetapi Ahmad dan lainnya menganggap cacat penambahan lafazh “Dan beliau dalam keadaan berpuasa” dan mereka mengatakan bahwa yang kuat adalah “Bahwa beliau berbekam saat beliau dalam keadaan ihram” menurut Ahmad “dan beliau sedang dalam keadaan berpuasa” adalah kesalahan dari Qabishah.
Menurut Syaikhul Islam apa yang disebutkan oleh Ahmad itulah yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Hadits-hadits yang menyatakan batalnya puasa jelas dan shahih dan banyak jalurnya yang diriwayatkan oleh empat belas orang. Imam Ahmad menukil hadits-hadits mereka semuanya. Lalu mana hadits-hadits yang akan didahulukan, yaitu di antara dua: hadits yang shahih di dalamnya tidak ada dalil atau di dalamnya ada dalil tetapi tidak shahih.
Yang benar adalah batal puasa sebab berbekam, pendarahan, pembedahan atau penyayatan, pengambilan darah yang banyak dari badan itu ada dalam hal-hal ini baik secara alami maupun secara hukum.
Pendapat ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim dan selain mereka berdua dari orang-orang yang melakukan penelitian.
Faidah
Pertama, para ulama sepakat bahwa makan, minum, dan bersetubuh itu membatalkan puasa. Mereka berbeda pendapat dalam masalah bekam, memakai celak mata, mengeluarkan sperma tanpa bersetubuh, keluar air madzi dan yang lainnya yang sudah lewat perinciannya.
Kedua, telah kita bahas bahwa mengambil darah yang banyak itu dapat membatalkan puasa seperti berbekam menurut pendapat yang kuat. Seandainya kita memperkirakan bahwa orang yang sakit itu terpaksa membutuhkan pertolongan darah sebelum maghrib maka dibolehkan bagi orang yang ingin mengambil darah untuk berbuka karena untuk menyelamatkan orang yang dijaga.
Ketiga, jika suatu ibadah dilakukan berdasarkan tuntutan hukum, lalu ada seseorang menyangka rusak dan batalnya ibadah itu, maka ia harus memaparkan dalil yang menunjukkan hal itu, jika tidak maka persangakaannya tidak diterima, karena kurang atau batalnya ibadah dibuktikan dengan dalil.
Keempat, Sang penetap hukum (Allah SWT) jika menetapkan suatu ibadah maka dijelaskan rukun, syarat, hal-hal yang wajibnya sebagaimana yang diistilahkan oleh ulama ushul, begitu juga dijelaskan hal-hal yang membatalkan, dan merusaknya. Karena segala sesuatu belum sempurna kecuali disertai dengan penjelasan hal yang menyempurnakan, merusak, dan membatalkannya.
Jadi, tidak dibolehkan bagi seseorang untuk menuntut batal dan rusaknya ibadah orang dari dirinya sendiri, atau berdasarkan hukum yang diputuskan dari dirinya, karena hal ini merupakan bentuk permusuhan terhadap makhluk dalam ibadah mereka dan perlawanan terhadap hak Sang Khalik dalam menetapkan hukum.
Disusun dan dipublikasikan oleh M. Taufiqur Rosyid
dari Syarah Bulughul Maram